Sabtu, 01 Februari 2014

Makalah ushul fiqih



AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
OLEH
KELOMPOK 1 (SATU)
ARIS APRIADI                          : 12010107
HERI OKFIADI                         : 12010091
AANG EVI KUNAEVI             : 12010080
VIVI SUMANTI                         : 12010050
SITI KHOTIMAH                      : 12010052

STIT PRINGSEWU.JPG

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
(STIT) PRINGSEWU
TAHUN 2014













KATA PENGANTAR
     
Puja dan puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat jasmani dan Rohani yang talah memberikan nikmat akal sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan (Jahiliyah) menuju ke zaman yang terang benderang yang diterangi dengan iman dan islam. 
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh Ibu FITRIA, M.A. yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk membahas tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan terima kasih pula kepada teman-teman dan pihak-pihak yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini .
Kami sadari bahwa makalah yang kami susun ini bukanlah merupakan makalah yang sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi sempurnanya makalah ini.
                                                                                               




                                                                                                                  PENULIS







DAFTAR ISI
HALAMAN UTAMA............................................................................................. i
HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii
KATA PENGANTAR............................................................................................ iii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.      Devinisi Dalil.................................................................................................. 2
B.       Pengertian Al-Qur’an..................................................................................... 6
C.       Pengertian As-Sunnah.................................................................................... 8
D.      Pengertian Al-Ijma’........................................................................................ 9
E.       Pengertian Qiyas............................................................................................ 15

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................................... 19
B.     Saran.............................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang masalah
Seiring dengan laju dinamika zaman, Islam telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pengetahuan. Hukum-hukum Islam pun turut andil andil dalam perkembangan tersebut. Hal ini terlihat dari banyaknya masalah-masalah kontemporer yang banyak mencuat.
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam tidak berdiri sendiri dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan. Al-Sunnah dan Ijtihad adalah rujukan yang siap menyokong Al-Qur’an dalam menentukan hukum. Kedudukan Al-Sunnah dan Ijtihad adalah berada di bawah Al-Qur’an dalam tugasnya sebagai acuan rujukan hukum.
Kita menyadari bahwa dalam beberapa abad ini ilmu pengetahuan Islam dapat di katakan lebih bersifat mekanis dan semantik daripada interpretatif atau ilmiah maka betapapun kecil bersahajanya perjuangan kita adalah untuk mencairkan kebekuan di dalam dunia pemikiran Islam baik religius maupun moral.

Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum muslim diseluruh penjuru pelosok dunia. Yang menjamin kebahagiaan bagi setiap penganutnya di dunia maupun di akhirat kelak. Ia mempunyai sendi yang sangat esensial yaitu Al-Quran yang berfungsi untuk memberi petunjuk kepada  jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, “sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya” (QS. 17:9).

B.       Rumusan Masaah
1.      Apakah yang di maksud dengan dalil?
2.      Apa yang di maksud Al-Qur’an dan As-sunnah?
3.      Bagaimana yang di maksud dengan Ijma’ dan Qiyas?







BAB II
PEMBAHASAN

A.      DEFINISI DALIL
Secara etimology bermakna menunjukkan ataupun memberi tahu jalan. Seperti dalam hadits:
قَالَ سَأَلْنَا حُذَيْفَةَ عَنْ رَجُلٍ قَرِيبِ السَّمْتِ وَالْهَدْىِ مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - حَتَّى نَأْخُذَ عَنْهُ فَقَالَ مَا أَعْرِفُ أَحَدًا أَقْرَبَ سَمْتًا وَهَدْيًا وَدَلاًّ بِالنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - مِنِ ابْنِ أُمِّ عَبْد
Artinya: “Sewaktu kami bertanya pada sahabat Hudzaifah ra tentang sosok manusia yang jelas maksudnya dan petunjuknya yang dekat dengan Rasulullah SAW sehingga kami bisa belajar darinya, Hudzaifah ra berkata: “Saya belum pernah melihat seseorang yang jelas maksud, petunjuk dan pengarahannya dari Nabi Saw selain dari Fatimah ra.”.
Sedangkan dalil secara terminology:
ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري
 artinya: “Sesuatu yang memungkinkan untuk sampai (pada maksud) melalui pandangan yang benar dalam menetapkan hukum Islam”.
Maksudnya adalah sesuatu yang memungkinkan untuk sampai pada masuknya dalil yang belum diperhatikan oleh mujtahid dalam menemukan hukum baru. Hal ini merupakan dalil meskipun belum ditunjukkan secara nyata, hal ini masih berbentuk kemungkinan-kemungkinan. Karena dalil adalah sesuatu yang berhasil menghantarkan kepada maksud secara nyata.
Yang dimaksud pandangan yang benar adalah pandangan yang tidak rusak apalagi salah sehingga bisa menghasilkan hukum yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.

1.      Pembagian Dalil Berdasarkan Sumbernya.
Dalam semua pembahasan berkaitan dengan dalil maka para ulama telah sepakat bahwa dalil yang disepakati oleh para ulama terdiri dari empat dalil: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Hal itu ditegaskan oleh Imam syafi’i yang menyatakan: ”Kedudukan ilmu harus berdasarkan kepada: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas”. Dan ada kesepakatan ulama mengenai sumber asal empat dalil diatas harus bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikarenakan hal ini berhubungan langsung dengan tegaknya agama Islam.
Dengan demikian dalil-dalil baik yang disepakati maupun masih diperselisihkan yang ada dalam syariah harus bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, apabila menetapkan hukum tanpa terlebih dahulu menyandarkan pada kedua dalil tersebut maka harus ditolak dan dibatalkan demi hukum. Karena kedua dalil tersebut berdasarkan atas wahyu, dan wahyu dari Allah selalu benar dan tidak pernah bertentangan satu sama lainnya. Dan sumber dari segala dalil adalah Al-Qur’an.
Imam Ibn Taimiyah menyatakan: “Sumber hukum syariah adalah Rasulullah SAW, karena Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah SAW, dan As-Sunnah muncul sebagai penjelas dari Al-Qur’an, kedudukan ijma’ dan qiyas harus disandarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Penjelasan diatas memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber segala dalil yang disepakati keberadaannya, karena keduanya dapat disebut sebagai dalil naqli, wahyu, syara’, nash, khabar dan semuanya itu kebalikan dari dalil ‘aqli, pendapat, ijtihad, istinbath hukum.
2.      Pembagian Dalil Berdasarkan Qath’i Dan Dzanni
a.         Pengertian qath’i dan dzanni
Pertama: Secara etimology qath’i dari kata qatha’a yang bermakna memisahkan bagian tubuh dengan cara menghilangkannya atau memotongnya. Tetapi dalam pembahasan ini kata qath’i bermakna keyakinan, kepastian, sesuatu yang bersifat tetap.
Sedangkan secara terminology bermakna ”Sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
Kedua: Secara etimology dzanni bermakna dugaan, persangkaan, sesuatu yang masih membingungkan.
Sedangkan secara terminology bermakna ”Sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
b.    Dalil qath’i dan dzanni
Pertama: Dalil qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum yang bersifat pasti dan tetap tanpa ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya. Atau bisa juga diartikan: ”sesuatu yang pasti baik dilihat dari segi sanad, dalalah dan sifatnya yang tetap”. Ada yang menambahkan: “qath’i adalah sesuatu yang pasti dilihat dari segi matan dan dalalahnya”. Contoh:
Artinya: “Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”.
Ayat ini menunjukkan bahwa hitungan hari untuk melaksanakan puasa tersebut wajib untuk dilakukan, hal ini disebut sebagai dalil qath’i.
Menurut imam Syafi’i: “Apabila ada nash Al-Qur’an yang sudah jelas dan terang hukumnya, atau apabila ada As-Sunnah yang disepakati keberadaannya, maka keberadaan keduanya bersifat qath’i, dan tidak diperbolehkan meragukannya, sehingga jika ada orang yang menolak untuk menerima nash tersebut dihukumi sebagai orang yang cacat akalnya”. Maksudnya adalah apabila ada yang menolak keberadaan nash yang qath’i maka harus dapat memilah apakah sebagian dari nash tersebut sanadnya bersifat qath’i atau tidak? Apakah nash tersebut dalalahnya bersifat qath’i atau tidak?. Hal ini memberikan pemahaman bahwa penelitian dalil nash merupakan penelitian yang harus tepat dan benar, tidak boleh mengikutkan hawa nafsunya sehingga nash tersebut dapat dinilai qath’i atau tidak yang nantinya dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Kedua: Dalil dzanni adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum tetapi masih mengandung kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan salah satunya”. Makna lainnya adalah: ”dalalah yang ada merupakan dzahirnya nash yang tidak qath’i”. Contoh:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)”.
Ayat ini mempunyai dalalah dzahir yakni ucapan “menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan” akan membatalkan shadaqah dan menghilangkan pahalanya. Hal ini memunculkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat dimenangkan salah satunya, bahwa sadaqah tidak jadi batal kecuali berkumpulnya kedua ucapan tersebut. Sehingga apabila hanya mengucapkan salah satunya masih diragukan status hukumnya apakah batal atau tidak? Mendapatkan pahala atau tidak?. Inilah yang dimaksud dengan dalil dzanni.
Apabila dilihat dari segi pengamalannya maka tetap berhukum wajib untuk mengamalkan dalil dzanni dalam syariah hal ini didasarkan atas kesepakatan ulama, dan tidak ada perbedaan antara mengamalkan dan nilai ilmiah dari dalil dzanni. Sedangkan masalah akidah bisa menjadi hukum tetap meskipun menggunakan dalil dzanni.
Imam Syafi’i menyatakan: “Apabila dalam nash As-Sunnah terdapat perbedaan dalam segi maknanya, maka hal ini dimungkinkan untuk di ta’wil. Atau apabila ada hadits ahad, maka masih dapat dijadikan hujjah sehingga hadits ini tidak tertolak, terbuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan oleh umat Islam”.
3.      Pembagian Dalil Berdasarkan Cara Pengambilannya
Dalil dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi dua; dalil syar’i dan bukan syar’i:
Dalil syar’i adalah dalil yang diperintahkan, ditunjukkan atau direkomendasikan oleh syara’.
Dalil bukan syar’i adalah anonym dari dalil syar’i. Dalil ini dapat berupa dalil yang unggul maupun diunggulkan, dalil shahih maupun rusak, ‘aqli maupun sam’i. dalil yang bukan syar’i ini bisa datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti: berbuat, berkata dan memutuskan hukum tanpa pengetahuan.
B.       PENGERTIAN AL-QURAN
1.         Pengertian Al-Qur’an secara Etimologi (bahasa).
Secara bahasa Al-Quran berasal dari bahasa Arab , yaitu qaraa-yaqrau-quraanan yang berarti bacaan. Hal itu dijelaskan sendiri oleh Al-Quran dalam Surah Al-Qiyamah ayat 17-18
Artinya : Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. QS. Al-Qiyamaah 17-18

2.        Pengertian Al-Quran secara Terminologi (istilah).
a)        Menurut Manna’ Al-Qhattan :
كَلَامُ اللهِ المُنَزًّلُ عَلَي مُحَمَّدٍ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُتَعَبَدُ بِتِلَاوَتِهِ

Artinya : kitab Allah yang diturnkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya memperoleh pahala.
b)        Menurut Al-Jurjani :
هُوَ اَلْمُنَزَّلُ عَلَى الرَّسُولِ المَكْتُوبِ فِى الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُولُ عَنْهُ نَقْلًا مُتَوَاتِرًا بِلَا شُبْهَةٍ

Artinya : yang diturunkan kepada Rasulullah SAW., ditulis dalam mushaf, dan diriwayatkan secara mutawattir tanpa keraguan.
c)        Menurut kalangan pakar ushul fiqh, fiqh, dan bahasa Arab :
كَلَامُ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ ص.م اَلْمُعْجِزِ اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ اَلْمَنْقُولُ بِالتَّوَاتُرِ اَلْمَكْتُوبِ فِى اَلْمَصَاحِفِ مِنْ اَوَّلِ سُوْرَةٍ اَلْفَاتِحَةِ اِلَى سُورَةٍ النَّاسِ

Artinya : kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad. Lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai ibadah, diturunkan secara mutawattir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai pada surat An-Nass.
Dari pengertian diatas, ada beberapa bagian yang unsur penting, yaitu :
·      Al-Quran adalah firman Allah.
Artinya : ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). QS. An-Najm 4
Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Quran adalah wahyu (bisikan dalam sukma  dan isyarat yang cepat yang bersifat rahasia disampaikan oleh Allah kepada Nabi dan Rasul) yang diturunkan oleh Alla kepada nabi Muhammad SAW.

·      Al-Quran adalah mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Tak satu pun jin dan manusia yang dapat menandinginya, meskipun mereka berkerjasama.
Artinya : Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". QS. AL-ISRAA 88
·      Al-Quran disampaikan secara mutawatir.
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr 9)
Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
·         Membaca Al-Quran bernilai ibadah.
Nabi bersabda: “Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf, tetapi Alif satu huruf, laam satu huruf, miim satu huruf dan satu kebaikan nilainya 10 kali lipat” (Al-Hadist).
·         Al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril.
Artinya : Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". QS. An-Nahl 102.

C.      PENGERTIAN AS – SUNNAH
A. As – Sunnah menurut bahasa Al – Tariqah (jalan) dan Al – Sarih (perbuatan) baik maupun buruk. Pengertian tersebut sebagaimana hadist Nabi yang Artinya :
” Barang siapa membuat satu perbuatan (jalan) yang baik maka baginya pahala atas perbuatan tadi dan pahala orang lain yang melakukannya tanpa kurang sedikitpun. Dan barang siapa membuat perbuatan (pahala) jelek maka atasnya dosa dari perbuatan tadi dan dosa orang lain yang mengerjakannya”.

Menurut istilah terdapat beberapa definisi As – Sunnah yang telah dikemukakan oleh para ulama’ :
1)        Menurut ahli Hadist adalah :
Segala yang dinukil dari Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat – sifat tabiat atau perangai perjalanan hidup baik sebelum diutus (menjadi rasul) seperti gemarnya beribadah di gua Hira’ atau sesudahnya. Dengan demikian sunnah sinonim dengan Hadist.
2)        Menurut ahli usul adalah :
Segala yang keluar dari Nabi selain Al – Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan yang patut dijadikan sebagai hukum syara’
3)        Menurut ahli fiqih :
Segala yang ditetapkan dari Nabi yang bukan termasuk fardhu dan wajib.



Perbedaan As – Sunnah Dan Al – Hadist Menurut Ulama’ Hadist, Usul Fiqih, Serta Macam – Macam As – Sunnah
1.         Adapun sebab – sebab adanya perbedaan dalam mendefinisikan As – Sunnah dan Al – Hadist adalah sebagai berikut :
·           Ulama' Hadist : Memandang Nabi sebagai seorang imam yang -nenunjukkan ke jalan yang benar dan merupakan uswatun khasanah (sari tauladan yang baik) sehingga mereka mendefinisikan sunnah atau badits meliputi segala yang berkaitan dengan Nabi, baik sebelum diutus sebagai Nabi atau sesudahnya, baik yang berekses hukum ataupun tidak.
·           Ulama' Usul : Memandang Nabi sebagai pengatur undang-undang dan pencipta dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid sesudahnya. Sehingga sunnah atau hadist mempunyai pengertian segala yang terkait dengan Nabi yang ada hubunganya dengan syara'.
·           Ulama' Figih : Memandang Nabi sebagai orang yang seluruh perkataan dan perbuatannya merujuk kepada suatu hukum syara' yang ada kaitannya dengan hukum wajib, haram, makruh,.dan mandhub.

2.      Macam – macam As – Sunnah
As-Sunnah terbagi menjadi 3
·           Sunnah Qawliyyah, yakni semua ucapan Nabi SAW yang menerapkan suatu hukum, seperti perintah Nabi SAW untuk berpuasa ramadhan. apabila tetah melihat (ru'yah).
·           Sunnah Fi'liyah, yaitu semua perbuatan Nabi SAW yang terkait dengan hukum seperti tata cara shalat yang beliau kerjakan.
·           Sunnah Taqririyah, yaitu pengakuan nabi atas apt yang diperbuat oleh para sahabat, seperti pengakuan Nabi SAW pada seorang sahabat yang bertayammum karena tidak ada air.

D.      PENGERTIAN AL-IJMA’
Secara etimalogi, ijma’ terbagi kepada dua pegertian,  yaitu :
1.         Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, misalnya perkataan :
جمع القوم على كذالك اذا التفقوا عليه
Artinya :
“Suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka telah sepakat begini.”
Pengertian tersebut juga dapat ditemukan didalam surat Yusuf ayat 15, yaitu :
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya : “ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka memasukkan dia)…” (QS. Yusuf : 15)
  1. Ijma berarti tekad atau niat yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat pada surat Yunus ayat 71:

..فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ...
Artinya:  “ Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (QS. Yunus : 71)
Pengertian tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW ;
لا صيام لمن لم يجمع الصيام من الليل(روه ابو داود)
Artinya : “ Tidak sah puasa seseorang yang tidak membulatkan niat puasanya pada malam harinya.” (HR. Abu Dawud)
Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikannya :
a.         Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
b.         Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap masalah syara’.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf, ijma’ menurut istilah ulama ushul ialah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW. atas hukum syar’I mengenai suatu kejadian atau kasus. Prof. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwasanya ijma’ itu adalah kesepakatan para mujtahid dalam dalam suatu masa setelah wafatnya Rosulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly).
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW. yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rosulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rosulullah ijma tidak diperlukan, sebab keberadaan Rosulullah SAW. sebagai syar’I (penentu/pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’.

 Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia Islam terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

1.      Syarat dan Rukun Ijma’
Berdasarkan definisi ijma’ diatas dapat diketahui bahwa ijma’ itu dapat terjadi bila telah memenuhi empat macam kriteria di bawah ini :
1)        Adanya sebilangan para mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan yang lainnya.
2)        Adanya kesepakatan semua mujtahid umat Islam atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaannya atau kelompoknya.
3)        Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat masing-masing mereka mengenai suatu kejadian dengan jelas, baik berbentuk ucapan (qauli), misalnya dengan memberikan fatwa mengenai suatu kejadian, atau berbentuk perbuatan (Fi’li) misalnya suatu keputusan mengenai suatu hal atau kejadian. Atau penampilan pendapat menjatuhkan itu secara menyendiri, dan ketika telah dikumpulkan beberapa pendapat tampak jelas kesepakatannya.
4)        Dapat direalisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum. Seandainya pada sebagian mereka telah terjadi kesepakatan, maka tidaklah terjadi ijma’ atas dasar kesepakatan sebagian besar. Ketika jumlah penentang itu sedikit dan jumlah yang mufakat itu banyak berarti masih terdapat pula kemungkinan benar bagi suatu pihak dan kemungkinan salah (keliru) bagi pihak lainnya. Jadi, kesepakatan mayoritas itu tidak menjadi hujjah syar’iyyah secara pasti dan apalagi dikukuhkan.
Syarat terbentuknya ijma’ yaitu sebagai berikut :
1)            Yang bersepakat adalah para Mujtahid. Secara umum mujtahid itu diartikan sebagai ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbaht hukum dari hukum-hukum syara’. Dalam kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang disebut dengan mujtahid ialah orang yang faqih. Ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, hal ini berdasarkan pendapat AL-Wadih dalam kitabIsbath, bahwa mujtahid yang diterima fatwanya ialah ahlu al-halli wal aqdi.
Pendapat-pendapat tersebut sebenarnya memiliki kesamaan, yakni bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Jika dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, maka tidak bisa dikatakan ijma’. Mekipun ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tetap tidak dikatakan ijma’, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya sendiri.

2)            Para mujtahid harus umat Muhammad SAW. ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan umat Muhammad adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl al-halli wa al-aqdi. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golonan Muhammad. Tidak bisa dikatakan ijma’ jka kesepakiatan itu dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. karena ijma’ umat Muhammad SAW. itu telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin bersepakat atau ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.

3)            Dilakukan setelah wafatnya Nabi. Hal itu karena ketika Nabi masih hidup, Nabi-lah yang menjadi sumber hukum dari setiap permasalah yang terjadi.

Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut :
a.         Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b.        Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c.         Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatanya.
d.        Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadits Rosulullah SAW.
2.      Dasar hukum ijma'
a.      Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."

b.      Al-Hadist
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

c.       Akal Pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3.      Macam-macam Al-Ijma’
Macam-macam ijma’ jika dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :
1.          Ijma’ Sharih
Yaitu semua mejtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya. Ijma’ sharih ini merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyyah menurut madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut juga dengan ijma’ bayani, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi.
2.         Ijma’ Sukuti
Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas.
                                           
E.       PENGERTIAN QIYAS
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Ada beberapa golongan pendapat. Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat illahiyah yang dibuat syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dan Istinbath hukum.
1.        Al-Ghazali dalam al-Mustahfa
"Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.


2.        Qadhi Abu Bakar
“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3.        Ibnu Subki
“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).”
4.        Abu Zahrah
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5.        Ibnu Qudamah
Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.”
6.        Ibnu al-Hummam
“Samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’  hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebiasaan.”
7.        Abu Hasan al-Bashri
“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.
8.        Al-Human
“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”

Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya ‘illah yang ada pada ashal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi 3 yaitu:
1.         Qiyas aula
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibbkan adanya hukum. Dan antara hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17): 23.
Artinya: “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan “ah”, “busyet” dan sebagainya hukumnya lebih utama.
2.         Qiyas Musaway
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman allah Surah an-Nisa’ (4):10.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.
3.         Qiyas Adna  
Yang dimaksud dengan qiyas ini yaitu adanya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini ‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar.

4.         Qiyas Dalalah
Yaitu ‘illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak diwajibkan furu’ seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai senisab, tetapi bagi anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji tidak wajib bagi anak-anak.
5.         Qiyas Syabah
Adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan diantara kedua pangkal kemana yang paling banyak menyamai. Seperti budak yang di bunuh mati, dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka karena sama-sama keturunan adam.





























BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
·           Demikian pembahasan yang berkaitan dengan makalah ini kami simpulkan bahwa:. Dalil adalah sesuatu yang memungkinkan untuk sampai (pada maksud) melalui pandangan yang benar dalam menetapkan hukum Islam.
·           Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturnkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya memperoleh pahala.
·           As-Sunnah ialah Segala yang keluar dari Nabi selain Al – Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan yang patut dijadikan sebagai hukum syara’
·           Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia Islam terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
·           Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”
Pembahasan ini sangat diperlukan untuk mengetahui dalil-dalil yang akan dipergunakan untuk melakukan istinbath hukum. Apabila mengetahui dalil dengan benar, maka akan mendapatkan keputusan hukum yang benar pula. Semoga bermanfaat.
B.       Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah yang selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya. (Surabaya: PT Mahkota, 2004 M)
Al-Amidy, Ali bin Muhammad. Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, 1984 M)
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah. Shahih Bukhari. (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H)
Al-Jizani, Muhammad bin Husain Bin Hasan, Ma’alim Ushul Al-Fiqh. (Madinah: Abu Mohannadl An-Najdi, 1427)
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali. At-Ta’rifaat. (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H)
Al-Qurthubi, Muhammad Bin Ahmad, Abu Abdullah. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t.th)
Ar-Razi, Muhammad Bin Abi Bakar bin Abdulkadir. Mukhtar Ash-Shihhah. (Beirut: Maktabah Lebanon, 1995M)
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah Wa An-Nadzair fi qawaid wa furu’ fiqh Asy-Syafi’iyyah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.th)
Asy-Syafi’i, Muhammad Bin Idris, Abu Abdullah. Ar-Risalah. (Beirut: Maktabah Ilmiyah, t.th)
Ibn Abd Al-Bar, Yusuf Bin Abdullah, Abu Umar. Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th)
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, Muhammad Bin Abi Bakar, Abu Abdullah. Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ’ala Al-Jahmiyah Wa Al-Muthla’ah. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1405 H)

2 komentar:

  1. Water Hack Burns 2 lb of Fat OVERNIGHT

    Over 160,000 women and men are trying a easy and secret "liquid hack" to lose 1-2 lbs each and every night as they sleep.

    It is painless and it works with anybody.

    This is how to do it yourself:

    1) Grab a drinking glass and fill it with water half full

    2) And then do this strange hack

    so you'll be 1-2 lbs skinnier the very next day!

    BalasHapus