AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
OLEH
KELOMPOK 1 (SATU)
ARIS APRIADI :
12010107
HERI OKFIADI : 12010091
AANG EVI KUNAEVI : 12010080
VIVI SUMANTI : 12010050
SITI KHOTIMAH : 12010052

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
(STIT) PRINGSEWU
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Puja dan puji
syukur kita haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat jasmani
dan Rohani yang talah memberikan nikmat akal sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Shalawat serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah
membimbing kita dari zaman kegelapan (Jahiliyah) menuju ke zaman yang terang
benderang yang diterangi dengan iman dan islam.
Ucapan terima
kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh Ibu FITRIA, M.A. yang telah
memberikan kepercayaan kepada kami untuk membahas tentang Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Dan terima
kasih pula kepada teman-teman dan pihak-pihak yang telah mendukung dalam
penyelesaian makalah ini .
Kami sadari
bahwa makalah yang kami susun ini bukanlah merupakan makalah yang sempurna,
oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca demi sempurnanya makalah ini.
PENULIS
DAFTAR ISI
HALAMAN UTAMA............................................................................................. i
HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii
KATA PENGANTAR............................................................................................ iii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Devinisi
Dalil.................................................................................................. 2
B.
Pengertian
Al-Qur’an..................................................................................... 6
C. Pengertian As-Sunnah.................................................................................... 8
D.
Pengertian
Al-Ijma’........................................................................................ 9
E.
Pengertian
Qiyas............................................................................................ 15
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 19
B.
Saran.............................................................................................................. 19
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang masalah
Seiring dengan laju dinamika
zaman, Islam telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dalam berbagai
aspek kehidupan terutama dalam bidang pengetahuan. Hukum-hukum Islam pun turut
andil andil dalam perkembangan tersebut. Hal ini terlihat dari banyaknya
masalah-masalah kontemporer yang banyak mencuat.
Al-Qur’an sebagai sumber utama
hukum Islam tidak berdiri sendiri dalam memecahkan persoalan-persoalan
kehidupan. Al-Sunnah dan Ijtihad adalah rujukan yang siap menyokong Al-Qur’an
dalam menentukan hukum. Kedudukan Al-Sunnah dan Ijtihad adalah berada di bawah
Al-Qur’an dalam tugasnya sebagai acuan rujukan hukum.
Kita menyadari bahwa dalam beberapa abad
ini ilmu pengetahuan Islam dapat di katakan lebih bersifat mekanis dan semantik
daripada interpretatif atau ilmiah maka betapapun kecil bersahajanya perjuangan
kita adalah untuk mencairkan kebekuan di dalam dunia pemikiran Islam baik
religius maupun moral.
Agama
Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum muslim diseluruh
penjuru pelosok dunia. Yang menjamin kebahagiaan bagi setiap penganutnya di
dunia maupun di akhirat kelak. Ia mempunyai sendi yang sangat esensial yaitu
Al-Quran yang berfungsi untuk memberi petunjuk kepada jalan yang sebaik-baiknya.
Allah berfirman, “sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang
sebaik-baiknya” (QS. 17:9).
B.
Rumusan
Masaah
1. Apakah
yang di maksud dengan dalil?
2. Apa
yang di maksud Al-Qur’an dan As-sunnah?
3. Bagaimana
yang di maksud dengan Ijma’ dan Qiyas?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI DALIL
Secara etimology
bermakna menunjukkan ataupun memberi tahu jalan. Seperti dalam hadits:
قَالَ سَأَلْنَا حُذَيْفَةَ عَنْ
رَجُلٍ قَرِيبِ السَّمْتِ وَالْهَدْىِ مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم -
حَتَّى نَأْخُذَ عَنْهُ فَقَالَ مَا أَعْرِفُ أَحَدًا أَقْرَبَ سَمْتًا وَهَدْيًا
وَدَلاًّ بِالنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - مِنِ ابْنِ أُمِّ عَبْد
Artinya:
“Sewaktu kami bertanya pada sahabat Hudzaifah ra tentang sosok manusia yang
jelas maksudnya dan petunjuknya yang dekat dengan Rasulullah SAW sehingga kami
bisa belajar darinya, Hudzaifah ra berkata: “Saya belum pernah melihat
seseorang yang jelas maksud, petunjuk dan pengarahannya dari Nabi Saw selain
dari Fatimah ra.”.
Sedangkan
dalil secara terminology:
“ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري”
artinya: “Sesuatu yang memungkinkan untuk sampai (pada
maksud) melalui pandangan yang benar dalam menetapkan hukum Islam”.
Maksudnya adalah sesuatu yang memungkinkan untuk
sampai pada masuknya dalil yang belum diperhatikan oleh mujtahid dalam
menemukan hukum baru. Hal ini merupakan dalil meskipun belum ditunjukkan secara
nyata, hal ini masih berbentuk kemungkinan-kemungkinan. Karena dalil adalah
sesuatu yang berhasil menghantarkan kepada maksud secara nyata.
Yang
dimaksud pandangan yang benar adalah pandangan yang tidak rusak apalagi salah
sehingga bisa menghasilkan hukum yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
1.
Pembagian Dalil
Berdasarkan Sumbernya.
Dalam semua
pembahasan berkaitan dengan dalil maka para ulama telah sepakat bahwa dalil
yang disepakati oleh para ulama terdiri dari empat dalil: Al-Qur’an, As-Sunnah,
ijma’ dan qiyas.
Hal itu ditegaskan oleh Imam syafi’i yang menyatakan: ”Kedudukan ilmu harus
berdasarkan kepada: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas”. Dan
ada kesepakatan ulama mengenai sumber asal empat dalil diatas harus bersumber
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikarenakan hal ini berhubungan langsung dengan
tegaknya agama Islam.
Dengan
demikian dalil-dalil baik yang disepakati maupun masih diperselisihkan yang ada
dalam syariah harus bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, apabila menetapkan
hukum tanpa terlebih dahulu menyandarkan pada kedua dalil tersebut maka harus
ditolak dan dibatalkan demi hukum. Karena kedua dalil tersebut berdasarkan atas
wahyu, dan wahyu dari Allah selalu benar dan tidak pernah bertentangan satu
sama lainnya. Dan sumber dari segala dalil adalah Al-Qur’an.
Imam Ibn
Taimiyah menyatakan: “Sumber hukum syariah adalah Rasulullah SAW, karena
Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah SAW, dan As-Sunnah muncul sebagai
penjelas dari Al-Qur’an, kedudukan ijma’ dan qiyas harus disandarkan pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Penjelasan
diatas memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah
merupakan sumber segala dalil yang disepakati keberadaannya, karena keduanya
dapat disebut sebagai dalil naqli, wahyu, syara’, nash, khabar
dan semuanya itu kebalikan dari dalil ‘aqli, pendapat, ijtihad,
istinbath hukum.
2.
Pembagian Dalil
Berdasarkan Qath’i Dan Dzanni
a.
Pengertian qath’i
dan dzanni
Pertama: Secara
etimology qath’i dari kata qatha’a yang bermakna
memisahkan bagian tubuh dengan cara menghilangkannya atau memotongnya. Tetapi
dalam pembahasan ini kata qath’i bermakna keyakinan, kepastian, sesuatu
yang bersifat tetap.
Sedangkan secara terminology
bermakna ”Sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian
dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
Kedua: Secara etimology dzanni
bermakna dugaan, persangkaan, sesuatu yang masih membingungkan.
Sedangkan secara terminology
bermakna ”Sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling
berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
b. Dalil qath’i dan dzanni
Pertama: Dalil qath’i
adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum yang bersifat pasti dan tetap tanpa
ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya. Atau bisa juga diartikan:
”sesuatu yang pasti baik dilihat dari segi sanad, dalalah dan
sifatnya yang tetap”. Ada yang menambahkan: “qath’i adalah sesuatu yang
pasti dilihat dari segi matan dan dalalahnya”. Contoh:
Artinya:
“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”.
Ayat
ini menunjukkan bahwa hitungan hari untuk melaksanakan puasa tersebut wajib
untuk dilakukan, hal ini disebut sebagai dalil qath’i.
Menurut
imam Syafi’i: “Apabila ada nash Al-Qur’an yang sudah jelas dan terang hukumnya,
atau apabila ada As-Sunnah yang disepakati keberadaannya, maka keberadaan
keduanya bersifat qath’i, dan tidak diperbolehkan meragukannya, sehingga
jika ada orang yang menolak untuk menerima nash tersebut dihukumi sebagai orang
yang cacat akalnya”. Maksudnya adalah apabila ada yang menolak keberadaan nash
yang qath’i maka harus dapat memilah apakah sebagian dari nash
tersebut sanadnya bersifat qath’i atau tidak? Apakah nash
tersebut dalalahnya bersifat qath’i atau tidak?. Hal ini memberikan
pemahaman bahwa penelitian dalil nash merupakan penelitian yang harus
tepat dan benar, tidak boleh mengikutkan hawa nafsunya sehingga nash tersebut
dapat dinilai qath’i atau tidak yang nantinya dapat dijadikan dalil
dalam menetapkan hukum.
Kedua: Dalil dzanni
adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum tetapi masih mengandung
kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan salah
satunya”. Makna lainnya adalah: ”dalalah yang ada merupakan dzahirnya
nash yang tidak qath’i”. Contoh:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)”.
Ayat
ini mempunyai dalalah dzahir yakni ucapan “menyebut-nyebut dan menyakiti
perasaan” akan membatalkan shadaqah dan menghilangkan pahalanya. Hal ini
memunculkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat dimenangkan salah satunya,
bahwa sadaqah tidak jadi batal kecuali berkumpulnya kedua ucapan tersebut.
Sehingga apabila hanya mengucapkan salah satunya masih diragukan status
hukumnya apakah batal atau tidak? Mendapatkan pahala atau tidak?. Inilah yang
dimaksud dengan dalil dzanni.
Apabila
dilihat dari segi pengamalannya maka tetap berhukum wajib untuk mengamalkan
dalil dzanni dalam syariah hal ini didasarkan atas kesepakatan ulama,
dan tidak ada perbedaan antara mengamalkan dan nilai ilmiah dari dalil dzanni.
Sedangkan masalah akidah bisa menjadi hukum tetap meskipun menggunakan dalil dzanni.
Imam
Syafi’i menyatakan: “Apabila dalam nash As-Sunnah terdapat perbedaan dalam
segi maknanya, maka hal ini dimungkinkan untuk di ta’wil. Atau apabila
ada hadits ahad, maka masih dapat dijadikan hujjah sehingga
hadits ini tidak tertolak, terbuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan oleh
umat Islam”.
3.
Pembagian Dalil
Berdasarkan Cara Pengambilannya
Dalil dalam
hukum Islam dapat dibagi menjadi dua; dalil syar’i dan bukan syar’i:
Dalil syar’i adalah dalil yang diperintahkan,
ditunjukkan atau direkomendasikan oleh syara’.
Dalil
bukan syar’i adalah anonym dari dalil syar’i. Dalil ini dapat
berupa dalil yang unggul maupun diunggulkan, dalil shahih maupun rusak, ‘aqli
maupun sam’i. dalil yang bukan syar’i ini bisa datang dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah seperti: berbuat, berkata dan memutuskan hukum tanpa pengetahuan.
B.
PENGERTIAN AL-QURAN
1.
Pengertian Al-Qur’an secara Etimologi (bahasa).
Secara bahasa Al-Quran berasal dari
bahasa Arab , yaitu qaraa-yaqrau-quraanan yang berarti bacaan. Hal itu
dijelaskan sendiri oleh Al-Quran dalam Surah Al-Qiyamah ayat 17-18
Artinya : Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu. QS. Al-Qiyamaah 17-18
2.
Pengertian Al-Quran secara Terminologi (istilah).
a)
Menurut Manna’ Al-Qhattan :
كَلَامُ اللهِ المُنَزًّلُ عَلَي
مُحَمَّدٍ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُتَعَبَدُ بِتِلَاوَتِهِ
Artinya : kitab Allah yang diturnkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya memperoleh pahala.
b)
Menurut Al-Jurjani :
هُوَ اَلْمُنَزَّلُ عَلَى الرَّسُولِ
المَكْتُوبِ فِى الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُولُ عَنْهُ نَقْلًا مُتَوَاتِرًا بِلَا
شُبْهَةٍ
Artinya : yang diturunkan kepada Rasulullah SAW., ditulis dalam mushaf, dan diriwayatkan secara mutawattir tanpa keraguan.
c)
Menurut kalangan pakar ushul fiqh, fiqh, dan bahasa Arab :
كَلَامُ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى
نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ ص.م اَلْمُعْجِزِ اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
اَلْمَنْقُولُ بِالتَّوَاتُرِ اَلْمَكْتُوبِ فِى اَلْمَصَاحِفِ مِنْ اَوَّلِ
سُوْرَةٍ اَلْفَاتِحَةِ اِلَى سُورَةٍ النَّاسِ
Artinya : kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad. Lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai ibadah, diturunkan secara mutawattir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai pada surat An-Nass.
Dari pengertian diatas, ada beberapa
bagian yang unsur penting, yaitu :
· Al-Quran adalah firman Allah.
Artinya :
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). QS.
An-Najm 4
Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Quran
adalah wahyu (bisikan dalam sukma dan isyarat yang cepat yang bersifat
rahasia disampaikan oleh Allah kepada Nabi dan Rasul) yang diturunkan oleh Alla
kepada nabi Muhammad SAW.
· Al-Quran adalah mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Tak satu pun jin dan manusia yang dapat menandinginya, meskipun mereka berkerjasama.
Artinya : Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". QS. AL-ISRAA 88
Tak satu pun jin dan manusia yang dapat menandinginya, meskipun mereka berkerjasama.
Artinya : Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". QS. AL-ISRAA 88
· Al-Quran disampaikan secara
mutawatir.
Artinya :
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr 9)
Ayat ini
memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
·
Membaca Al-Quran bernilai ibadah.
Nabi
bersabda: “Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf, tetapi Alif satu
huruf, laam satu huruf, miim satu huruf dan satu kebaikan nilainya 10 kali
lipat” (Al-Hadist).
·
Al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad melalui Malaikat
Jibril.
Artinya : Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". QS. An-Nahl 102.
Artinya : Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". QS. An-Nahl 102.
C.
PENGERTIAN AS – SUNNAH
A. As –
Sunnah menurut bahasa Al – Tariqah (jalan) dan Al – Sarih (perbuatan) baik
maupun buruk. Pengertian tersebut sebagaimana hadist Nabi yang Artinya :
” Barang siapa membuat satu
perbuatan (jalan) yang baik maka baginya pahala atas perbuatan tadi dan pahala
orang lain yang melakukannya tanpa kurang sedikitpun. Dan barang siapa membuat
perbuatan (pahala) jelek maka atasnya dosa dari perbuatan tadi dan dosa orang
lain yang mengerjakannya”.
Menurut
istilah terdapat beberapa definisi As – Sunnah yang telah dikemukakan oleh para
ulama’ :
1)
Menurut ahli Hadist adalah :
Segala
yang dinukil dari Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat
– sifat tabiat atau perangai perjalanan hidup baik sebelum diutus (menjadi
rasul) seperti gemarnya beribadah di gua Hira’ atau sesudahnya. Dengan demikian
sunnah sinonim dengan Hadist.
2)
Menurut ahli usul adalah :
Segala
yang keluar dari Nabi selain Al – Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan,
penetapan yang patut dijadikan sebagai hukum syara’
3)
Menurut ahli fiqih :
Segala
yang ditetapkan dari Nabi yang bukan termasuk fardhu dan wajib.
Perbedaan As – Sunnah Dan Al – Hadist Menurut Ulama’ Hadist,
Usul Fiqih, Serta Macam – Macam As – Sunnah
1.
Adapun sebab – sebab adanya perbedaan dalam mendefinisikan
As – Sunnah dan Al – Hadist adalah sebagai berikut :
·
Ulama' Hadist : Memandang Nabi sebagai seorang imam yang
-nenunjukkan ke jalan yang benar dan merupakan uswatun khasanah (sari tauladan
yang baik) sehingga mereka mendefinisikan sunnah atau badits meliputi segala
yang berkaitan dengan Nabi, baik sebelum diutus sebagai Nabi atau sesudahnya,
baik yang berekses hukum ataupun tidak.
·
Ulama' Usul : Memandang Nabi sebagai pengatur undang-undang
dan pencipta dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid sesudahnya. Sehingga sunnah
atau hadist mempunyai pengertian segala yang terkait dengan Nabi yang ada
hubunganya dengan syara'.
·
Ulama' Figih : Memandang Nabi sebagai orang yang seluruh
perkataan dan perbuatannya merujuk kepada suatu hukum syara' yang ada kaitannya
dengan hukum wajib, haram, makruh,.dan mandhub.
2.
Macam – macam As – Sunnah
As-Sunnah terbagi menjadi 3
·
Sunnah Qawliyyah, yakni semua ucapan Nabi SAW yang
menerapkan suatu hukum, seperti perintah Nabi SAW untuk berpuasa ramadhan.
apabila tetah melihat (ru'yah).
·
Sunnah Fi'liyah, yaitu semua perbuatan Nabi SAW yang terkait
dengan hukum seperti tata cara shalat yang beliau kerjakan.
·
Sunnah Taqririyah, yaitu pengakuan nabi atas apt yang
diperbuat oleh para sahabat, seperti pengakuan Nabi SAW pada seorang sahabat
yang bertayammum karena tidak ada air.
D.
PENGERTIAN AL-IJMA’
Secara etimalogi, ijma’ terbagi
kepada dua pegertian, yaitu :
1.
Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, misalnya perkataan
:
جمع القوم على كذالك اذا التفقوا عليه
Artinya :
“Suatu kaum telah berijma’ begini,
jika mereka telah sepakat begini.”
Pengertian tersebut juga dapat
ditemukan didalam surat Yusuf ayat 15, yaitu :
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ
وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ
لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya : “ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam
sumur (lalu mereka memasukkan dia)…” (QS. Yusuf : 15)
- Ijma berarti tekad atau niat yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat pada surat Yunus ayat 71:
..فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ
لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا
تُنْظِرُونِ...
Artinya: “ Karena itu
bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku).” (QS. Yunus : 71)
Pengertian tersebut juga terdapat
dalam sabda Nabi SAW ;
لا صيام لمن لم يجمع الصيام من
الليل(روه ابو داود)
Artinya : “ Tidak sah puasa
seseorang yang tidak membulatkan niat puasanya pada malam harinya.” (HR. Abu
Dawud)
Adapun pengertian ijma’ secara
terminologi, para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikannya :
a.
Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu
adalah kesepakatan semua ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam
suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
b.
Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa
ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap
masalah syara’.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul
Wahab Kallaf, ijma’ menurut istilah ulama ushul ialah kesepakatan semua
mujtahidin diantara umat islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah
SAW. atas hukum syar’I mengenai suatu kejadian atau kasus. Prof. Muhammad Abu
Zahrah berpendapat bahwasanya ijma’ itu adalah kesepakatan para mujtahid dalam
dalam suatu masa setelah wafatnya Rosulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang
bersifat praktis (‘amaly).
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’
dengan “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.”
Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat
Muhammad SAW. yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Al-Ghazali pun
tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah
wafatnya Rosulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rosulullah ijma tidak
diperlukan, sebab keberadaan Rosulullah SAW. sebagai syar’I (penentu/pembuat
hukum) tidak memerlukan ijma’.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan
bahwasanya ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia Islam
terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada suatu masa
setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
1.
Syarat dan Rukun Ijma’
Berdasarkan definisi ijma’ diatas
dapat diketahui bahwa ijma’ itu dapat terjadi bila telah memenuhi empat macam
kriteria di bawah ini :
1)
Adanya sebilangan para mujtahid pada waktu terjadinya suatu
peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa
pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan yang lainnya.
2)
Adanya kesepakatan semua mujtahid umat Islam atas suatu
hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang
negeri mereka, kebangsaannya atau kelompoknya.
3)
Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat
masing-masing mereka mengenai suatu kejadian dengan jelas, baik berbentuk
ucapan (qauli), misalnya dengan memberikan fatwa mengenai suatu kejadian, atau
berbentuk perbuatan (Fi’li) misalnya suatu keputusan mengenai suatu hal atau
kejadian. Atau penampilan pendapat menjatuhkan itu secara menyendiri, dan
ketika telah dikumpulkan beberapa pendapat tampak jelas kesepakatannya.
4)
Dapat direalisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu
hukum. Seandainya pada sebagian mereka telah terjadi kesepakatan, maka tidaklah
terjadi ijma’ atas dasar kesepakatan sebagian besar. Ketika jumlah penentang
itu sedikit dan jumlah yang mufakat itu banyak berarti masih terdapat pula
kemungkinan benar bagi suatu pihak dan kemungkinan salah (keliru) bagi pihak
lainnya. Jadi, kesepakatan mayoritas itu tidak menjadi hujjah syar’iyyah secara
pasti dan apalagi dikukuhkan.
Syarat terbentuknya ijma’ yaitu
sebagai berikut :
1)
Yang bersepakat adalah para Mujtahid. Secara umum mujtahid
itu diartikan sebagai ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbaht hukum
dari hukum-hukum syara’. Dalam kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang
disebut dengan mujtahid ialah orang yang faqih. Ada juga yang memandang
mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, hal ini berdasarkan pendapat AL-Wadih
dalam kitabIsbath, bahwa mujtahid yang diterima fatwanya ialah ahlu al-halli
wal aqdi.
Pendapat-pendapat tersebut
sebenarnya memiliki kesamaan, yakni bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang
Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath
hukum dari sumbernya. Jika dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai
derajat mujtahid, maka tidak bisa dikatakan ijma’. Mekipun ada, tetapi hanya
satu orang, itu pun tetap tidak dikatakan ijma’, karena tidak mungkin seseorang
bersepakat dengan dirinya sendiri.
2)
Para mujtahid harus umat Muhammad SAW. ada yang berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan umat Muhammad adalah orang-orang mukallaf dari
golongan ahl al-halli wa al-aqdi. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah
orang-orang mukallaf dari golonan Muhammad. Tidak bisa dikatakan ijma’ jka
kesepakiatan itu dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. karena
ijma’ umat Muhammad SAW. itu telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin
bersepakat atau ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
3)
Dilakukan setelah wafatnya Nabi. Hal itu karena ketika Nabi
masih hidup, Nabi-lah yang menjadi sumber hukum dari setiap permasalah yang
terjadi.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai
berikut :
a.
Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’
tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka yang tidak
setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak
dinamakan hukum ijma’.
b.
Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah
seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c.
Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatanya.
d.
Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadits
Rosulullah SAW.
2. Dasar
hukum ijma'
a.
Al-Qur'an
Allah
SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ':
59)
Perkataan amri yang terdapat
pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat
umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah
raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan
agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa
jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari
suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh
kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin
bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian
bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu
dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
Artinya: "Dan barangsiapa
yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan
sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman.
Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma',
sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para
mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
b. Al-Hadist
Bila para mujtahid telah melakukan
ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu
hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk
melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:
Artinya: "umatku tidak akan
bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
c.
Akal Pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas
hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam.
Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar
pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta
hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu
ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari
yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak
menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam
berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu
ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan
sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka
hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi
al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua
dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas,
kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang
banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3.
Macam-macam Al-Ijma’
Macam-macam ijma’ jika dilihat dari
cara terjadinya ada dua macam, yaitu :
1.
Ijma’
Sharih
Yaitu semua mejtahid mengemukakan
pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha
(memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan
yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati
salah satunya. Ijma’ sharih ini merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’ yang
dijadikan hujjah syar’iyyah menurut madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut juga
dengan ijma’ bayani, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi.
2.
Ijma’ Sukuti
Yaitu pendapat sebagian ulama
tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka
diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas.
E.
PENGERTIAN QIYAS
Qiyas menurut bahasa ialah
pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan
sejenisnya.
Ada beberapa golongan pendapat.
Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu
pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan
ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan
hujjat illahiyah yang dibuat syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.
Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada
pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dan Istinbath hukum.
1.
Al-Ghazali dalam al-Mustahfa
"Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui
dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan
hukum”.
2.
Qadhi Abu Bakar
“Menanggung
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum
pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya”.
3.
Ibnu Subki
“Menghubungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang
menghubungkannya (mujtahid).”
4.
Abu Zahrah
“Menghubungkan
suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada
nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5.
Ibnu Qudamah
“Menanggungkan
(menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang
menyatukan) antara keduanya.”
6.
Ibnu al-Hummam
“Samanya
suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’ hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang
tidak dapat dipahami dari segi kebiasaan.”
7.
Abu Hasan al-Bashri
“Menghasilkan
(menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.
8.
Al-Human
“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus
lainnya karena kesamaan ‘‘illat
hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”
Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang
berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena
adanya ‘illah yang ada pada ashal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada
umumnya dibagi 3 yaitu:
1.
Qiyas aula
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya
mewajibbkan adanya hukum. Dan antara hukum asal dan hukum yang disamakan
(furu’) dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih utama daripada hukum yang
ada pada al-asal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan
“uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya
haram, sesuai dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17): 23.
Artinya:
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia
Lalu diqiyaskan memukul dengan
perkataan “ah”, “busyet” dan sebagainya hukumnya lebih utama.
2.
Qiyas Musaway
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya
mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun
hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak
yatim berdasarkan firman allah Surah an-Nisa’ (4):10.
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dapat mengqiyaskan bahwa segala
bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang
menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak
yatim tersebut.
3.
Qiyas Adna
Yang dimaksud dengan qiyas ini yaitu
adanya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu. Sebagai
contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang
terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan
pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini ‘illah hukumnya adalah baik apel
maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar.
4.
Qiyas Dalalah
Yaitu ‘illat yang ada pada qiyas
menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak diwajibkan furu’ seperti
mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang
telah sampai senisab, tetapi bagi anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya
diqiyaskan pada haji tidak wajib bagi anak-anak.
5.
Qiyas Syabah
Adalah mengqiyaskan cabang yang
diragukan diantara kedua pangkal kemana yang paling banyak menyamai. Seperti
budak yang di bunuh mati, dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka karena
sama-sama keturunan adam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Demikian
pembahasan yang berkaitan dengan makalah ini kami simpulkan bahwa:. Dalil adalah sesuatu yang
memungkinkan untuk sampai (pada maksud) melalui pandangan yang benar dalam
menetapkan hukum Islam.
·
Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturnkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan orang yang membacanya memperoleh pahala.
·
As-Sunnah ialah Segala yang keluar dari Nabi selain Al –
Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan yang patut dijadikan sebagai
hukum syara’
·
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang ada di dunia
Islam terhadap hukum syara’ dari suatu kejadian atau peristiwa pada suatu masa
setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
·
Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus
lainnya karena kesamaan ‘‘illat
hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”
Pembahasan ini sangat diperlukan untuk
mengetahui dalil-dalil yang akan dipergunakan untuk melakukan istinbath hukum.
Apabila mengetahui dalil dengan benar, maka akan mendapatkan keputusan hukum
yang benar pula. Semoga bermanfaat.
B.
Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa
penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan tidak menutup kemungkinan
adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena itu, kami mohon kritik
dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. Al-Quran dan
Terjemahannya. (Surabaya: PT Mahkota, 2004 M)
Al-Amidy, Ali bin Muhammad. Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam.
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, 1984 M)
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah. Shahih
Bukhari. (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H)
Al-Jizani, Muhammad bin Husain Bin Hasan, Ma’alim Ushul
Al-Fiqh. (Madinah: Abu Mohannadl An-Najdi, 1427)
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali. At-Ta’rifaat.
(Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H)
Al-Qurthubi, Muhammad Bin
Ahmad, Abu Abdullah. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. (Beirut: Dar Ihya’
At-Turats, t.th)
Ar-Razi, Muhammad Bin Abi Bakar bin Abdulkadir. Mukhtar Ash-Shihhah.
(Beirut: Maktabah Lebanon, 1995M)
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah
Wa An-Nadzair fi qawaid wa furu’ fiqh Asy-Syafi’iyyah, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.th)
Asy-Syafi’i, Muhammad Bin Idris, Abu
Abdullah. Ar-Risalah. (Beirut: Maktabah Ilmiyah, t.th)
Ibn Abd Al-Bar, Yusuf Bin Abdullah, Abu
Umar. Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
t.th)
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah,
Muhammad Bin Abi Bakar, Abu Abdullah. Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah
’ala Al-Jahmiyah Wa Al-Muthla’ah. (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 1405 H)
Water Hack Burns 2 lb of Fat OVERNIGHT
BalasHapusOver 160,000 women and men are trying a easy and secret "liquid hack" to lose 1-2 lbs each and every night as they sleep.
It is painless and it works with anybody.
This is how to do it yourself:
1) Grab a drinking glass and fill it with water half full
2) And then do this strange hack
so you'll be 1-2 lbs skinnier the very next day!
Makalah bagus, terima kasih telah berbagi
BalasHapusKumpulan Makalah Pendidikan